Bagaimana Reparenting Dapat Menyembuhkan Inner Child Wound

Halo Sobat Simfoni! Kali ini dalam pembahasan bertajuk Science, author akan membahas tentang polemik yang lagi booming akhir-akhir ini yang berhubungan dengan ilmu Psikologi :)

Sudah menjadi Sunnatullah seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan di bidang psikologi, kesadaran terhadap pentingnya kesehatan mental semakin meningkat. Salah satu isu yang sering dibahas adalah inner child, yang didefinisikan sebagai diri kita dengan segala emosi yang dialami sebelum memasuki masa remaja. Inner child pertama kali diperkenalkan oleh psikiater asal Swiss, Carl Gustav Jung, yang menyatakan bahwa pengalaman masa kanak-kanak, terutama pada usia 0-7 tahun, membentuk alam bawah sadar kita. Alam bawah sadar ini adalah pikiran kita yang diakses 95%-99,5% setiap hari yang dapat memengaruhi pikiran sadar kita lalu membentuk keyakinan tentang diri kita yang sulit diubah. Hal ini membuat kita berpikir bahwa ya saya tuh orangnya kek gini, ga bisa berubah lagi, takdirnya kek gini, dan sebagainya

Tidak semua anak mengalami masa kanak-kanak yang bahagia; beberapa mengalami luka emosional yang menjadi inner child wound ketika dewasa. Bagaimana kita tahu jika kita memiliki inner child wound? Biasanya, inner child wound muncul dalam hubungan interpersonal dan terungkap ketika kita merasa tidak cukup atau tidak puas dengan diri sendiri atau pencapaian kita. Perfeksionisme, ambisi yang berlebihan, dan kelelahan emosional bisa menjadi tanda adanya inner child wound.

Apa yang menyebabkan munculnya inner child wound? Beberapa penyebab mungkin, adanya kekerasan yang didapatkan saat masa kanak-kanak, toxic parenting dari orang tua, dan pengalaman traumatic lainnya di masa kecil dapat menyebabkan seseorang tumbuh dengan inner child wound dalam dirinya.



Secara garis besar inner child wound terbagi atas 4 kategori, yakni:

  1. Abandonment wound

Ciri-ciri seseorang hidup dengan abandonment wound dalam dirinya antara lain mereka akan merasa tidak suka atau takut apabila ketinggalan dari orang lain dalam banyak aspek dalam di kehidupan. Mereka akan merasa tidak nyaman saat sendirian, sehingga menjadi sangat bergantung pada orang lain. Orang dengan abandonment wound menjadi tidak dapat mendefenisikan kebahagiaan mereka sendiri apabila tidak bersama teman/ pasangan/ anak/ orang lain.

Dalam relasi dengan orang lain, mereka yang terdapat abandonment wound dalam dirinya dakan diidentifikasikan dengan ciri suka mengancam untuk meninggalkan.

 

  1. Guilt Wound

Ciri seseorang dengan guilt wound adalah sering merasa buruk dan sering menyalahkan diri sendiri. Orang dengan guilt wound akan selalu merasa kurang berusaha sehingga kondisi menjadi tidak seperti yang diharapkan. Mereka yang hidup dengan guilt wound juga akan cenderung sulit untuk men-set boundaries dan cenderung menjadi people pleaser karena tidak enak untuk menolak permintaan dari orang lain. Di sisi lain, orang dengan guilt wound akan merasa sungkan untuk meminta bantuan orang lain karena merasa dirinya akan merepotkan bagi orang lain.

Dalam relasi dengan orang lain, orang dengan guilt wound akan terlihat dari cara orang tersebut menggunakan “guilt” atau rasa bersalah untuk memanipulasi atau meng-ghaslighting orang lain, sehingga membuat orang lain merasa bersalah.

 

  1. Trust Wound

Orang dengan trust wound akan selalu merasa takut disakiti dan akan selalu menemukan alasan untuk tidak mempercayai orang lain sehingga mereka akan selalu menaruh curiga terhadap orang lain. Orang dengan trust wound juga akan selalu merasa tidak aman (insecure) dalam banyak aspek dalam hidupnya. Mereka akan selalu merasa tidak layak dan hidup atau eksistensinya tidak berharga yang membuat mereka selalu membutuhkan validasi dari orang lain.

Orang dengan trust wound dalam suatu relasi akan memiliki kecenderungan untuk bersikap posesif terhadap pasangan atau anaknya. Orang dengan trust wound juga akan sulit memulai suatu hubungan dengan orang lain karena akan selalu diliputi rasa curiga terhadap orang yang baru dikenalnya.

 

  1. Neglect Wound

Orang dengan neglect wound dicirikan dengan sulitnya orang tersebut untuk move on dan let go of something in their life. Mereka juga cenderung punya self reward yang rendah karena mereka selalu merasa usahanya tidak cukup baik. Orang dengan neglect wound juga sulit mengungkapkan emosinya dan cenderung untuk lebih mudah tersinggung atau marah karena hal-hal kecil. Di samping itu, orang dengan neglect wound akan cenderung ingin selalu ingin terlihat kuat di hadapan orang lain. Mereka akan lebih banyak menyimpan perasaannya dan akan merasa sulit untuk mengungkapkan apa yang dirasakan.


Setelah kita berhasil mengidentifikasi “luka” yang mana yang kita miliki, apa selanjutnya yang harus kita lakukan?

 

Kita secara personal mencoba menanamkan dalam pikiran kita, melakukan afirmasi positif, sugesti bahwa saat ini kita sudah aman, sudah berharga dengan segala kelebihan dan kekurangan kita, kita juga sudah punya our own voice dan sudah didengarkan oleh lingkungan kita. Selanjutnya, treatment atau praktek k yang bagaimana yang bisa membuat kita merasa lebih baik, itu kembali ke diri kita masing-masing. Treatment tersebut tergantung issue apa tentang inner child kita yang perlu kita selesaikan. Langkah pertama kita bisa mencoba berdialog dengan diri seperti muhasabah istilahnya. Kita bisa mencoba  mengatakan hal-hal yang tidak pernah diucapkan orang tua kepada kita dan hal-hal yang ingin kita dengar orang tua kita ucapkan kepada kita. Sebagai contoh, seseorang dengan trust wound yang merasa dirinya tidak berharga dan selalu merasa tidak layak, dapat menanamkan dalam dirinya:

“Lu bisa kok.. coba lihat diri lu, sudah sampai di titik ini, saat ini di saat banyak orang masih berjuang untuk berada di posisi elu saat ini. lu tuh berharga.. coba lihat .. bapak, ibu, saudara kamu.. semua saying kok sama lu.. dan emang pantas kok lu tuh jadi orang yang bahagia..” dan sebagainya.


Selanjutnya, menurut Charisse Cooke, proses reparenting to heal our inner child terbagi atas 4 pilar.

 

Pilar pertama adalah disiplin.

Disiplin adalah komitmen atau janji yang kita buat kepada diri sendiri. Bangunlah suatu kebiasaan yang dapat membuat kita lebih semangat menjalani hari.

 

Pilar kedua adalah self care.

Self care yang paling penting untuk kita perhatikan adalah tidur yang cukup, asupan nutrisi yang masuk dalam tubuh kita, olahraga, dan rasa kasih sayang pada diri kita sendiri. Membuat Batasan terhadap orang-orang yang toxic juga merupakan sebuah bentuk self care.

Pilar ketiga adalah joy atau sukacita.

Joy atau sukacita adalah sebuah ruang yang kita ciptakan yang berisi kegiatan yang menyenangkan. Kegiatan ini bisa berkaitan dengan hobi kita sejak kecil, bisa dengan membaca, menari, berkebun, menggambar, menonton film, atau dengan pergi ke alam terbuka maupun ngobrol dan tertawa dengan “bestie” kita, intinya apapun yang membuat kita benar-benar happy saat melakukannya. Rencanakan hal yang selalu ingin kita lakukan, seperti orang tua yang hebat, antusias, dan suportif, bagi diri kita sendiri.

 

Pilar keempat atau yang terakhir adalah mengatur emosi.

Saat kita kecil, orang tua idealnya akan menenangkan dan mendukung serta memberikan validasi atas segala emosi yang kita rasakan. Namun sebagai orang dewasa, kita menjadi orang yang bertanggung jawab untuk mengatur emosi kita sendiri. Kita perlu mempelajari atau mengembangkan kemampuan untuk mengatur emosi diri kita sendiri. Kita juga perlu mengetahui cara untuk menjaga diri sendiri agar tetap tenang di saat-saat yang sulit, serta berlatih agar emosi kita tidak begitu cepat terpicu dan bagaimana agar emosi kita dapat Kembali tenang dengan cukup cepat.

 

Yang harus kita ingat bahwa saat pertama kali mempelajari inner child wound dan cara untuk me-reparenting diri kita sendiri, kita harus men-set tujuan kita. Kita harus menanamkan dalam mindset kita bahwa apa yang kita pelajari ini adalah untuk menyembuhkan inner child wound kita, bukan untuk mennjudge apa yang orang tua kita lakukan di masa lalu terhadap kita. Kita harus menyadari bahwa apapun yang orang tua kita lakukan di masa lalu tentu ada alasannya dan hal tersebut adalah sebuah fakta yang tidak bisa kita ubah lagi. Bisa jadi orang tua kita dulu juga memiliki emotional wounds-nya sendiri. Penting juga bagi kita untuk menyadari bahwa tentu pada jaman dulu akses pendidikan tentang ilmu psikologi ataupun ilmu parenting tidak seterbuka akses pendidikan pada jaman sekarang. Sehingga jelas bagi kita bahwa tujuan kita mempelajari inner child wounds dan reparenting adalah untuk menyelesaikan issue inner child yang kita alami, harapannya agar di masa depan kita tidak mengulang hal yang sama yang kita dapatkan dari orang tua kita, kepada anak-anak kita nanti. Naudzubillahi mindzalik

 

Tidak lupa juga kita harus meng-embrace segala kualitas positif yang ada dalam diri kita. Kita harus ingat bahwa kualitas positif yang ada dalam diri kita juga adalah buah dari didikan orang tua kita. Dalam setiap situasi dan kondisi, pasti ada hal-hal yang bis akita syukuri apabila kita berpikir dengan pikiran yang terbuka.


Dari sini kita sebagai manusia-manusia modern yang hidup di masa depan harus menguasai Reparenting untuk mengobati inner child wound kita. Adapun jika menemui kesulitan untuk mengatasinya sendiri, atau kita mempunyai issue lain tentang mental health yang sudah sulit untuk kita hadapi sendirian, jangan ragu untuk mencari bantuan dari konselor/ psikolog. Sekian :)



Special Greetz to "Nonachandara" 01.40 AM

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Android dan Perkembangannya dari Dulu hingga Kini

Kali Linux: Pengertian, Sejarah, Kelebihan, Kekurangan & Jenisnya

Mengenal Artificial Intelligence: Teknologi yang akan Mengubah Kehidupan Manusia